Flash

Rabu, 06 Juni 2012

Tak Tersentuh Bantuan Pasangan Miskin Hidup di Tengah Pusat Industri Mutiara


PASANGAN MISKIN : Papuq Rubinah dan Papuq Rabiah, 
pasangan miskin yang hidup diantara gemerlap pusatindustri 
mutiara di Sekarbela.



Meski dana miliaran rupiah telah digelontorkan melalui berbagai macam program, namun tak sedikit penduduk miskin di NTB belum tersentuh bantuan. Tidak saja rumahnya yang tak layak huni, kondisi kehidupannya sehari-hari juga jauh dari kata layak. Nasib tak beruntung itulah yang menimpa  Papuq Dir Alam (90) dan istrinya Papuq Rabiah (70).

RABU sore (6/6) sekitar pukul 17.40 Wita, senja sudah mulai mendekati malam. Papuq Rabiah (70) baru saja kembali dari berpergiannya seharian mencari rezeki. Bekerja serabutan. Saat akan memasuki rumahnya, wanita bertubuh pendek ini harus menunduk karena bagian atap rumahnya lebih pendek dari ukuran badannya.

Rumah ukuran 3 x 4 meter ditempatinya bersama sang suami Papuq Dir Alam berada di tengah-tengah pemukiman penduduk Sekarbela yang sangat dikenal sebagai pusat industri mutiara di NTB. Rumah reot tersebut tidak dilengkapi dengan tempat MCK (Mandi, Cuci, dan Kakus). Jika ingin membuang air besar maupun buang air kecil, ia terpaksa harus pergi ke sungai yang terletak sekitar 100 meter dari rumahnya. Sang suami yang sudah tidak bisa berjalan terpaksa membuang air di dalam kamarnya.  
“Di sini tidak ada WC, kalau mau buang air, pergi ke sungai, kalau mau salat kita pergi ke mushalla,”tuturnya.  

Warga Lingkungan Seme, Kelurahan Karang Pule, Sekarbela, Kota Mataram ini sudah puluhan tahun tinggal di rumah reot bersama suaminya yang sudah lumpuh. Mereka tinggal dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Kamar tidur dan dapur hanya dibatasi dengan gedek. Rumah itu menurut Papuq Rubiah diberikan Jero Genti, seorang majikan tempatnya bekerja sewaktu masih sehat dulu, hingga sekarang rumah itu belum diperbaikinya.
Rabiah dan suaminya tidak memiliki anak satupun yang bisa membantunya. Anak dari pernikahan pertamanya sudah meninggal semua. Sementara sang suami yang telah menikah lima kali tidak bisa memberi keturunan.
“Banyak sih anak saudara, namun tidak ada yang pernah mau datang nengok, sementara anak kami tidak punya,”tuturnya dengan nada sedih.

Untuk bisa makan sehari-hari Rabiah mengandalkan pemberian tetangga, ia dan suaminya sudah tidak bisa lagi bekerja mencari nafkah. Namun sesekali ia pergi ke rumah tetangga mencari upah nyuci pakaian, dan jika musim panen ia ikut warga lainnya mencari sisa-sisa padi yang baru panen. “Kalau ada yang ngasi makanan baru kita makan, tapi syukur ada saja yang ngasi kami makanan,”katanya.
Sudah lama Rabiah ingin memperbaiki rumahnya, karena semakin hari kondisi rumahnya semakin parah. Untuk masuk ke dalam rumah saja, ia harus melewati gang kecil karena posisi rumahnya membelakangi jalan. Sejak lama ia sangat ingin merubah posisi rumahnya agar menghadap jalan sehingga tidak sulit masuk. Namun harapan tersebut semakin sulit karena untuk  makan sehari-hari saja susah.

Harapan Rabiah sangat besar saat petugas Pemkot Mataram beberapa kali datang memotret dan mengukur rumahnya. Kabarnya rumahnya akan diperbaiki dan diberikan bantuan. Namun harapan tinggal asa. Hingga saat ini petugas yang menjanjikan perbaikan rumah belum juga datang.
“Mereka sering foto-foto rumah saya, ngukur katanya mau dikasi bantuan,tapi sampai sekarang belum ada,” katanya dengan nada kecewa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar