Flash

Kamis, 03 Mei 2012

Membangun Kembali Otoritas Guru Oleh : Abdul Malik (Penulis adalah Dosen IAIN Mataram sekaligus Pemerhati Pendidikan)


Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebagai pusat sekaligus koordinator kebijakan pendidikan di seluruh nusantara. Sudah saatnya memandang dengan kecamata realitas, bahwa negara ini akan maju saat bangsanya berpendidikan layak sesuai dengan karakter budaya bangsa itu sendiri. Pendidikan  yang layak memungkinkan bangsa seperti Jepang mampu tampil sebagai negara besar dan maju pada saat sekarang. Kemajuan negara Jepang  dewasa ini tentu tidak lepas dari spirit dan mental manusia Jepang yang telah menjadi karakter bangsa Jepang sejak dulu.
Karakter yang telah membudaya ini, menjalar pada pola pikir, mental, emosional, dan spiritual yang pada gilirannya melahirkan kepribadian yang berujung pada kinerja orang Jepang itu sendiri. Persoalan kemudian bagaimana dengan bangsa Indonesia tercinta ini memulai kemajuannya? Bagaimana pula dengan nasional karakter bangsa ini dibangun? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan di atas secara tuntas, karena pertanyaan tersebut merupakan permasalahan mendasar yang sedang dialami oleh bangsa sekarang ini. Kendatipun demikian, aspek-aspek kunci untuk memperbaiki bangsa ini sudah kita pahami bersama. Adalah pendidikan sebagai kata kunci yang dimaksudkan itu, apalagi dengan menaikan anggaran pada sektor pendidikan saat ini, selayaknya harus berdampak pada peningkatan mutu pedidikan secara holistik dan sistemik termasuk kualitas guru.
Secara eksternal ada beberapa hal yang menjadi kendala bagi terciptanya profesionalisme guru. (1). Semakin sempitnya kewenangan atau otoritas guru dalam proses mendidik dan mengajar pesera didik, (2) kualitas atasan atau pimpinan yang mengawasi dan mengontrol para guru, (3) Rendahnya pemberian punisment and reward pada guru. Di Indonesia otoritas guru itu cukup sempit sekali tidak sebanding dengan beban tanggung jawab yang dituntut oleh pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu, tidak heran kebanyakan guru di sekolah lebih tidak kreatif dan inovatif apalagi produktif. Keberadaan guru di sekolah “kasarnya” hanya mengikuti jadwal, kurikulum, yang telah ditetapkan sekolah dan pemerintah.  
Selain itu,  eksistensi dan kemerdekaan guru terkungkung oleh hegemoni “kekuasaan dan hasrat” kepala sekolah. Selain pada ranah birokratif, ranah edukatif pun kadang guru tidak mempunyai kewenangan yang luas (untuk tidak mengatakan “dirampas” kewenangannya). Di sekolah, proses belajar mengajar berjalan dengan lancar dan tertib, soalah-olah tidak ada masalah padahal yang terjadi adalah ada ke kosongan dan kerapuhan di dalam pendidika yang sedang dilakukan . Seluruh materi diajarkan selesai sesuai dengan kurikulum dan jadwal. Nilai raport pun semuanya baik, dijamain para siswa mendapatkan nilai rata-rata enam walaupun banyak “kejanggalan”.
Katakanlah berkaitan dengan “nilai ketuntasan minimal,” dalam konteks ini, ada kesan bahwa guru dibelenggu otoritas-otoritasnya dalam mengembangkan tugas secara maksimal. Baik terbelenggu oleh kondisi yang ada di sekolah tersebut maupun oleh kebijakan pemerintah itu sendiri. Pada tingkat kebijakan pemerintah pusat misalnya; persoalan otoritas guru masih menjadi permasalahan tersendiri. Otoritas ini pada hakekatnya berkaitan dengan profesionalisme dan keberlangsungan tugas guru secara tuntas. Misalnya dalam skala makro otoritas para guru masih sangat sempit, hal ini dapat di lihat dari perangkat-perangkat hukum atau regulasi yang menunjang otoritas tersebut.
Misalnya, sejauh mana batas-batas peran serta (otoritas) guru dalam menangani peserta didik yang bermasalah, bagaimana dan sejauh mana guru menempatkan hak-hak serta tanggung jawabnya sebagai pendidik dan pengajar ketika menghadapi peserta didiknya. Kalau ditinjau secara kritis kegagalan sekolah membentuk pribadi sisiwa selama ini sesungguhnya disebabkan karena otoritas guru telah dipangkas, direduksi sehingga tupoksi guru tidak berjalan sebagaimana mestinya. Guru semestinya, memiliki tupoksi mendidik dan mengajar dalam arti yang cukup luas, sistimatik, sistemik, integratif, holistik, dan kontinue tetapi pada kenyataan sekarang kebanyakan guru hanya menjalankan tugasnya sebagi pengajar atau mengajar an sih.
Kebanyakan guru sekarang ini memaknai tugas utamnya adalah hanya mengajar, sehingga tidak heran kemudian guru datang ke sekolah hanya menggugurkan kewajiban semata, hubungan dengan siswa bersifat mekanik, proses belajar yang dijalankan lebih kaku dan terjebak pada hegemoni kurikulum. Sehingga kemudian, kenapa pendidikan yang berorientasi perubahan karakter peserta didik tidak tercapai dengan baik karena aspek dan domain guru dalam arti mendidik justru sudah tidak dilaksanakan dan dinafikan. Selain itu pula, pendidikan yang dijalankan sekarang ini lebih memenuhi hasrat kognitif semata ketimbang kebutuhan afektif dan hatinya.
Sehingga pada akhirnya pembangunan karakter peserta didik tidak simultan antara pembinaan pikir (IQ) dan hatinya (SQ) dan tidak seimbang antara pencerdasan otaknya dengan pencerahan hatinya. Ini semua terjadi lantara tugas pokok guru itu sudah bergeser dan tereduksi secara besar-besaran. Padahal membina segala potensi siswa adalah tugas utama guru yang mengarah pada pengembangan perilaku dan pengetahuan peserta didik seutuhnya.
Pendidikan yang sejati adalah pendidikan  integratif-holistik yang harus berdampak pada perubahan pola pikir dan pola laku peserta didik. Hal ini sinkron dengan otoritas guru yang diamanatkan oleh undang-udang RI Nomer 14 tahun 2005, bab I, pasal 1, ayat, 1 disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, dan mengevaluasi peserta didik (UU nomor 14 tahun 2005). Jadi, jelas sangat keliru jika pendidikan dewasa ini hanya diterjemahkan dan dijewantahkan sebagai proses pengajaran semata. Oleh karena itu, semua pemangku pedidikan seharusnya mengembalikan tugas dan fungsi pokok guru ke fitrahnya, agar tercipta pendidikan yang berdampak abadi. Seperti pendapatnya Henry Adam, bahwa “guru itu berdampak abadi, ia tidak pernah tahu, dimana pengaruhnya itu berhenti” (A teacher effects eternity, he can never tell where his influence stops).
Dewasa ini banyak sekali, guru yang was-was pada saat mendidik dan mengajar, hal ini terjadi karena guru dihadapkan dengan undang-undang perlindungan anak dan undang-undang sejenis yang sering diterjemahkan secara sensintif dan tidak proposional oleh orang tua murid. Sebagai faktanya, berapa banyak guru yang dilaporakan ke polisi lantaran dianggap melakukan kekerasan pada peserta didik. Begitu juga, was-was yang diakibatkan oleh manajemen dan personifikasi kepala sekolah yang cenderung otoriter dan kaku. Pada hakekatnya kondisi tersebut memberikan beban psiklogis tersendiri pada guru sehingga terjadi distorsi besar terhadap otoritas guru dalam mendidik siswanya.
Sehingga, jika kondisi ini tidak segera diperbaiki maka jangan bertanya kenapa guru banyak yang tidak kreatif, produktif, kurang rasa ingin tahu terhadap perkembangan siswanya, dan tidak memiliki gelisahan atas kualitas out put yang dihasilkannya. Di Jepang wewenang guru cukup luas sekali, konon sampai guru memiliki hak untuk menegur dan memarahi wali murid apabila orang tua murid tersebut tidak mampu mendidik anaknnya di rumah dengan baik sesuai dengan tuntutan dan pesan sekolah. Selain itu juga, guru memiliki otoritas penuh dalam memantau dan kontrol terhadap keberhasilan kurikulum yang dilaksanakan di Sekolah.
Dilihat dari peren guru di atas tentu guru tidak hanya bertugas untuk mengajar dan mendidik semata akan tetapi lebih luas dari pada itu. Untuk mencapai pada tingkat ini tentu membutuhkan ketersediaan perangkat hukum dan perangkat yang lainnya. Dalam  konteks di atas, bangsa Jepang  menempatkan aspek pendidikan benar-benar dijadikan tujuan dan tugas bersama dari  masyarakat (orang tua), guru, dan pemeritah. Sehingga, Jepang memiliki padangan, peran dan perhatian yang sama terhadap pendidikan yang berujung pada kerja sama yang solid dan mutualisme.
Para pendiri bangsa ini sebenarnya sudah berulang kali mengingatkan bahwa peran dan keterlibatan aspek masyarakat, guru dan pemerintah secara aktif dalam pendidikan adalah suatu keharusan, di mana guru sebagai komandonya di lapangan harus diberikan wewenang dan otoritas yang luas. Wewenang dan otoritas tersebut diatur, dilindungi, dan dikontrol oleh undang-undang yang jelas dan mengikat. Dengan demikian diharapkan kedepan guru dapat menjalankan peran dan fungsinya dengan maksimal sesuai dengan ruang dan otoritasnya. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar