Flash

Kamis, 03 Mei 2012

Isu Lokal Via Film Dokumenter


SETELAH sukses dengan beberapa film dokumenter berkonten budaya lokal NTB seperti Joki Kecil dan Kembalinya Sang Sultan, Yuli Andari Merdikaningtyas masih akan tetap membuat film-film yang mengangkat isu ke-NTB-an melalui media film dokumenter.
“Sementara ini saya masih senang mengeksplorasi isu-isu lokal NTB dan cara pendekatan film dokumenter. Mungkin beberapa tahun kedepan masih concern di film dokumenter,” ujarnya saat ditanya apakah ke depan akan ada rencana untuk membuat film drama atau cerita yang bertema budaya lokal.
“Sebenarnya saya juga sangat senang nonton film cerita. Saya mulai belajar bikin skenario film cerita. Tapi apakah saya akan menggeluti film cerita kelak, kita lihat saja nanti yang jelas saya menikmati proses belajar saya ini,” sambungnya.
Andari begitu ia biasa dipanggil terinspirasi untuk membuat film dokumenter bertema lokal berangkat dari keinginannya untuk mengenal NTB dari berbagai aspek baik aspek sosial dan budaya. “Ada hasrat ingin tahu yang besar terhadap keadaan masyarakat dan persoalan mereka, lalu menuliskannya sebagai media untuk bercerita kepada orang lain yang mungkin belum sempat ke daerah tersebut.  Syukur kalau bisa memberikan solusi untuk persoalan tersebut dengan cara saya,” jelas kelahiran Sumbawa Besar, 29 Juli 1980 ini.
Setelah kuliah di Yogyakarta, keinginan tersebut semakin menggebu. Ia pun kemudian banyak belajar di perpustakaan dengan membaca berbagai jenis genre buku seperti karya sastra, sejarah, dan antropologi. “Dari sana saya kemudian menemukan berbagai cara pandang baru dalam melihat suatu peristiwa,” tambahnya. Andari mengemukakan bahwa realitas atau peristiwa budaya tidak bisa dilihat dari permukaan saja, tetapi harus diamati dan diselami dengan seksama.
“Begitu juga dengan konteks lokal di NTB. Saya mencoba untuk tidak melihatnya dari permukaan saja, tetapi mencoba menggali, mengenali, menyelami, dan melihat keterkaitan antara peristiwa-peristiwa tersebut,” jelasnya. Persentuhan dengan budaya lain khususnya Jawa semakin menguatkan keinginannya untuk mengetahui tentang budayanya sendiri.
Selain itu ia juga mengamati tontonan-tontonan di televisi yang sedikit sekali mengangkat acara-acara yang berkonten kelokalan. Di NTB sendiri sangat minim sekali perekaman dan pendokumentasian tentang budaya lokal NTB. Walaupun ada, tetapi masih mengangkat hal permukaan saja seperti liputan wisata dan petualangan. Jarang yang menggunakan cara pandang berbeda seperti misalnya keberpihakan yang kuat pada masyarakat lokal seperti film dokumenter.
“TV lokal di berbagai daerah mungkin memberikan ruang bagi budaya lokal tapi hanya beberapa orang yang menonton TV lokal karena kalah saing dengan hingar bingar program TV nasional yang tanpa jeda,” urainya.
Untuk itu ia mulai berpikir bagaimana membuat sebuah tontonan yang mampu menjadi sebuah media yang menyuarakan kelokalan tetapi bisa didengar oleh seluruh Indonesia. “Film dokumenter sebagai media yang cukup powerfull akhirnya saya pilih untuk menjadi media yang mampu menyuarakan konten lokal NTB sehingga tidak hanya dapat dinikmati oleh orang NTB, tetapi juga bisa diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia karena membawa nilai-nilai yang universal,” terang sutradara dan produser Benang Merah Production ini.
Ia pun berkarya dengan tujuan untuk bisa berkontribusi dalam upaya perekaman sejarah sosial budaya yang ada di NTB dan memberikan tontonan yang inspiratif untuk penonton. “Meskipun saya memulainya dengan sebuah langkah kecil. Saya sangat senang ketika penonton pulang setelah menonton karya saya, mereka membawa sesuatu dalam kepala mereka. Entah itu pikiran yang menggelisahkan, ikut memikirkan cara berkontribusi bagi masyarakat sekitar, semangat untuk melakukan sesuatu, serta memiliki rasa empati dan cara pandang yang berbeda pada masyarakat sekitarnya (lebih open mind),” sebutnya.
Andari mengungkapkan sejak kecil ia tidak pernah mengungkapkan cita-citanya secara eksplisit untuk menjadi sutradara atau film maker. Tetapi ia merasa dasar yang harus dimiliki seorang sutradara film dokumenter telah ada semenjak ia kecil.
Saat itu ia sering melontarkan ide ke teman-temanya dan mengajak mereka untuk merealisasikan ide tersebut. Karena seorang sutradara atau creator selalu mencari cara untuk merealisasikan ide tersebut. Ia pun lebih senang menjadi orang di belakang layar daripada menjadi pusat perhatian. “Cita-cita saya saat masih kecil menjadi penyiar TV. Ternyata setelah besar, saya tahu kalau penyiar TV juga diarahkan oleh seorang produser. Saya malah tertarik directing dan jadilah saya orang di balik layar,” cetusnya.
Andari mulai terjun di dunia perfilman pada tahun 2005. Pada saat itu di Yogyakarta ia mengikuti kompetisi menulis hasil penelitian untuk dijadikan naskah film dokumenter yang diselenggarakan oleh In-Docs dan Rumah Sinema Yogyakarta. Ia mengirim hasil penelitian tentang konsumen susuk kecantikan di Yogyakarta. Naskah tersebut terpilih dan ia mendapat kesempatan mengikuti  program beasiswa produksi film dokumenter. Di tahun yang sama ia juga memenangkan Eagle Award Documentary Competition 2005 yang diadakan oleh In-Docs dan Metro TV dengan film berjudul Joki Kecil sebagai film dokumenter terbaik sekaligus menjadi pilihan penonton Metro TV.
Selain Joki Kecil dan Kembalinya Sang Sultan, karyanya yang lain antara lain Beauty is Pain (2005), Bulan Sabit Di Tengah Laut (2007), dan Satu Harapan (2009). Hal terbesar yang ingin ia capai dalam bidang yang digelutinya sekarang adalah ingin karya-karyanya dikenang dan diingat oleh penonton karena menginspirasi mereka. “Saya menganggap kemenangan beberapa film saya di ajang festival Internasional sebagai bonus kerja keras saya. Yang paling penting film-film karya saya ikut berkontribusi (sekecil apapun) untuk merekam jejak perjalanan bangsa Indonesia,” tandas alumni UGM jurusan Ilmu Perpustakaan ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar