Flash

Rabu, 02 Mei 2012

Hardikas Diwarnai Aksi Demo Pelajar dan Mahasiswa Tuntut Penghapusan Diskriminasi Pendidikan


Mataram, SUMBAWA POST,
Momentum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh pada  tanggal 2 Mei, Selasa (2/5) kemarin di Mataram dan sejumlah daerah lainnya di NTB diwarnai aksi demo. Puluhan pelajar dan mahasiswa, mendatangi Kantor DPRD NTB menyampaikan protesnya terkait kondisi pendidikan khususnya di NTB saat ini.
Ikatan Pelajar Muhammadiyah NTB melalui Koordinator Aksi, Hidayatullah dalam orasinya mengatakan, penyalahgunaan program bina lingkungan (BL) untuk melakukan pungutan-pungutan kepada siswa sangat berdampak negatif terhadap siswa. Dengan kebijakan tersebut, seolah-olah sekolah negeri dipaksakan menerima siswa sebanyak-banyaknya sementara daya tampung sekolah terbatas. Tetapi karena  seorang siswa siap mengeluarkan uang BL mereka diterima.
‘’Dengan banyaknya siswa maka akan mengganggu kenyamanan siswa belajar  bahkan gurupun tidak akan maksimal mengajar. Ini karena program BL ini, sekolah cenderung mengutamakan uang daripada kualitas pendidikan,’’ tandasnya.
Disamping itu, mahalnya biaya pendidikan tidak sejalan dengan program pendidikan gratis yang didengung-dengungkan pemerintah daerah. Dengan mahalnya biaya pendidikan ini maka anak cerdas dari kalangan miskin menjadi tersingkirkan. Mereka mendapatkan perlakukan diskriminatif ketika memasuki Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), karena dengan alasan biaya mereka ditolak. ”Kita menuntut agar pemerintah merevisi kebijakan UU Sisdiknas khususnya pasal mengenai RSBI. Kita minta dihapus karena merupakan bentuk komersialisasi  pendidikan,”cetusnya.
Tak berapa lama kemudian, puluhan mahasiswa yang berasal dari Himpunan Mahasiswa (HIMMAH) NW Mataram, mengelar aksi serupa. Dalam orasinya, Koordinator Aksi, Zamroni menyorot Undang-Undang No 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang dirancang Kemendiknas sudah dianggap inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi karena melanggar UUD 1945. Kini, kembali pemerintah pusat akan mengajukan RUU Perguruan Tinggi yang akan dibahas oleh DPR.
‘’Jika RUU ini nanti disahkan, maka akan menbuat fokus perguruna tinggi akan terpecah antara kepentingan pendidikan dan kepentingan bisnis. Karenya kedepan perguruan tinggi dituntut untuk membiayai sendiri kegiatan pendidikannya. Akibatnya, masyarakat kurang mampu akan sulit mendapatkan akses pendidikan yang lebih tinggi,’’tegasnya.
Massa kemudian ditemui oleh Sekretaris Komisi IV (Bidang Pendidikan) DPRD NTB, Dra. Hj. Endang Yuliati. Endang mengatakan, untuk sekolah RSBI, bukan hanya diperuntukkan bagi orang kaya tetapi harus disesuaikan dengan kemampuan. ‘’RSBI itu yang penting adalah kemampuan otaknya. Bukan uangnya,’’ ucapnya. Terkait dengan adanya pungutan oleh sekolah dengan dalih uang BL, pihaknya akan mengkomunikasikan dengan Dikpora NTB.
Selain ke DPRD NTB, sebelumnya peserta aksi juga menggelar demo di depan Kantor Dinas Dikpora NTB. Yang disuarakan dalam aksi itu, sama. Mereka menolak adanya program BL dalam penerimaan siswa baru.
Selain menuntut penghapusan BL, massa juga menuntut revisi kembali program RSBI  yang kian marak karena dinilai sebagai komersialisasi pendidikan. Mereka menilai, saat ini RSBI justru dianggap sebagai salah satu jurang pemisah antara siswa kaya dan miskin. Sementara siswa yang benar-benar pintar tak dapat masuk ke sekolah RSBI karena kita tahu biaya untuk RSBI yang sangat tinggi.
Menanggapi tuntutan itu, Dikpora NTB melalui Kasubag Umum dan Kepegawaian H. L. Sridane sempat menemui pendemo dan meminta pada masyarakat untuk turut andil dalam melakukan pengawasan. Ia menilai program BL ini dilaksanakan di sekolah, semata-mata agar siswa yang berada di lingkar sekolah merasa memiliki sekolah. Pihaknya berjanji akan menyampaikan hal tesebut kepada kepala dinas, karena kemarin Kepala Dinas Dikpora NTB, Drs.H. L. Syafi’i sedang tidak berada di tempat.
Sementara itu dihubungi Suara NTB kemarin, pengamat pendidikan Muharrar Iqbal menilai program BL di sekolah-sekolah negeri yang semula positif karena dikhususkan untuk anak di sekitar lingkungan sekolah, saat ini tampaknya mulai terkontaminasi karena sudah  dikomersialkan. Sekolah seolah memperjualbelikan kursi, wali murid pun rela membayar mahal, hanya untuk mendapatkan status sekolah bergengsi. Akibatnya, sekolah-sekolah swasta maupun sekolah pinggiran menjadi mati karena tak mendapat murid.
 Dalam hal ini Iqbal menilai meran serta masyarakat sangat dibutuhkan sebagai salah satu sistem kontrol di dalam dunia pendidikan. Termasuk mengontrol program BL yang biasanya marak saat penerimaan siswa baru. ( SUMBAWA POST )











Tidak ada komentar:

Posting Komentar